Kamis, 05 Desember 2013

Kalian memperingati hari dimana Imam Hussein sendiri dikhianati oleh Kalian (Syi’ah)???


Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirabbil 'alamin, Allahumma shalli 'ala muhammad wa 'ala alihi muhammad, amma ba'du

Sebelum dimulai, baca dulu khutbah oleh Imam Ali Zainal Abidin Radhiyallahu ‘anhu

Ali Zainal Abidin memuji Allah dan bershalawat pada Nabi-Nya, lalu berkata:
“Wahai manusia, bagi yang mengenalku, maka dia telah mengenalku. Bagi yang belum kenal siapa diriku, aku adalah Ali bin Hussein, yang disembelih di tepi sungai Eufrat, tanpa tahu masalah dan tanpa dapat warisan. Aku adalah anak dari yang dilukai kehormatan istri dan anak wanitanya, yang dirampas kenikmatannya, dan dirampok hartanya, ditawan keluarganya. Aku adalah anak dari manusia yang dibunuh dalam tawanan. Ini cukup membuatku bangga.”



“Wahai manusia, aku minta kalian bersumpah pada Allah, bukankah kalian tahu bahwa kalian yang menulis surat pada ayahku, lalu kalian berkhianat padanya, dan bukankah kalian telah memberikan janji dan baiat? Kalian perangi ayahku, dan kalian hinakan dia. Alangkah celaka apa yang telah kalian lakukan, alangkah buruknya pikiran kalian, bagaimana kalian nanti dihadapan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wassallam yang bersabda pada kalian: “Kalian bunuh anak cucuku, kalian rusak kehormatanku, kalian bukanlah termasuk umatku.”

Lalu suara tangisan terdengar keras, dan masing-masing saling mendoakan: “Sungguh perbuatan kalian membuat kalian celaka”

Lalu Ali bin Hussein berdoa: “Semoga Allah merahmati orang yang mau menerima nasehatku, dan menjaga wasiatku tentang hak-hak Allah, hak-hak RasulNya, dan hak-hak keluarganya, sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wassallam telah memberikan contoh terbaik bagi kita.

Lalu mereka semua berkata: “Kami semua mendengar, taat, dan menjaga kehormatanmu, kami tidak akan meninggalkanmu, dan tidak membencimu. Berilah kami perintah, semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya kami akan memerangi siapa yang memerangimu, kami akan berdamai, kami akan membalas dendammu dan dendam kami semua, membalas orang yang telah mendzalimimu dan diri kami semua.”

Lalu Ali bin Hussein berkata: “Sungguh jauh bagi kalian, wahai para pembuat makar dan pengkhianat, semoga kalian dihalangi dari meraih keinginan dan syahwat kalian, apakah kalian ingin melakukan padaku apa yang kalian pada ayahku? Tidak, demi Rabb para penari di Mina, luka ini masih belum kering. Kemarin ayahku dibunuh ditengah keluarganya. Aku belum lupa musibah ayahku dan anak-anaknya, dan kakekku…dstnya..”

(Kitabal Ihtijaj jilid 2 hal 305)

----------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah Tulisan yang baik sekali masyaallah...:

Menurut Syi’ahRafidhah padang Karbala jauh lebih mulia dari pada kota SuciMakkah.
Menurut riwayat-riwayat dalam kitab-kitab mereka, Karbala adalah lebih suci dari kota suci Makkah.

Disebutkan dalam sebuah riwayat Syi’ah Rafidhah, “Allah akan menjadikan Karbala sebagai pusat dan tempat berkumpul para malaikat dan orang-orang mukmin (Rafidhah -ed). Ia akan memiliki kemulian, akan tersebar padanya berbagai keberkahan. Seandainya seseorang berdoa disana kepada Rabb-nya,nicaya Allah akan memberikan dengan satu doa saja seribu kali lipat kerajaan dunia. Berbagai tempat di bumi saling berbangga, Ka’bah yang di tanah haram berbangga diatas Karbala. Maka Allah wahyukan kepadanya: Wahai Ka’bah tanah haram diamlah engkau! Jangan engkau berbangga diatas Karbala! Sesungguhnya dia bumi yang penuh berkah.”

Demikian sebuah riwat palsu yang disebutkan dalam kitab Syi’ah Bihaarul Anwaar, jilid: 53, hal: 12, riwayat no: 1, bab: 28.

Dalam riwayat Syi’ah Rafidhah yang lain disebutkan, “Allah telah menciptakan padang Karbala sebelum menciptakan bumi Ka’bah (kota suci Makkah) selama dua puluh empat ribu tahun. Ia (Karbala) telah suci dan berkah sebelum penciptaan para makhluk. Ia senantiasa demikian sampai  Allah jadikan ia sebagai tempat yang paling afdhal (mulia) di dalam surga.”

Riwayat dusta ini berulang kali terdapat dalam berbagai kitab-kitab pegangan orang-orang Syi’ah Rafidhah. Lihat Bihaarul Anwaar jilid: 57, hal: 202, riwayat: 147, bab: 1. Dan Attahziib jilid:6, hal: 72, riwayat: 6. Serta Al Wasaail jilid: jilid: 14 bab: 68, hal: 513-516, riwayat: 19719-19723.

Bukti kebohongan dan kebatilan riwayat-riwayat di atas amat jelas bagi setiap muslim yang awam sekalipun.

Sebab mereka amat yakin dengan firman Allah yang berbunyi,

“Sesungguhnya rumah (suci) yang pertama sekali diletakkan dimuka bumi untuk manusia adalah yang terdapat di kota Makkah, yang diberkati dan sebagai petunjuk bagi manusia.”

Dalam ayat ini Allah jelaskan bahwa Ka’bah adalah rumah ibadah yang pertama kali dibangun di muka bumi. Dan ia adalah tempat yang penuh berkah. Beribadah dimasjidil haram memiliki keutamaan yang jauh lebih besar dari seluruh masjidmana pun di muka bumi.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang berbunyi,

عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((صلاة في مسجدي هذا أفضل من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام)) رواه البخاري ومسلم.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Telah bersabda rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam: shalat di masjidku ini lebih baik dari selainnya seribu kali lipat kecuali Masjidil Haram [1].”

Dalam hadits lain Rasulullah tegaskan bahwa dilarang melakukan perjalanan dalam mencari tempat yang lebih afdhal untuk beribadah kecuali pada tiga masjid.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak boleh melakukan perjalanan (untuk beribadah di suatu tempat) kecuali kepada tiga masjid; masjidil haram, masjid Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan masjidil aqsha[2].”

Semua muslim yakin dan percaya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam adalah manusia yang paling mulia dihadapan Allah. Namun tidak ada satu nash punyang menyebutkan bahwa beribadah di kuburan beliau lebih utama dari pada Masjidil Haram atau masjid beliau di Madinah atau Masjidil Aqsha di Palestina. Bahkan yang ada justru sebaliknya, beliau melarang menjadikan kuburan beliau sebagai tempat perayaan atau sebagai tempat yang dikunjungi dalam waktu-waktu tertentu.

DariAbu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, “Dan janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai tempat ‘id (di kunjungi pada waktu-waktu khusus), dan berselawatlah kepadaku. Sesungguhnya selawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun saja kalian berada[3].”

Bahkan Rasulullah melaknat orang yang menjadikan kuburan para nabi atau orang-orang shalih sebagai tempat beribadah,

DariAisyah dan Ibnu Abbas keduanya mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alahiwa sallam bersabda, “Laknat Allah-lah diatas orang-orangYahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah. Ia mengingatkan terhadap apa yang mereka lakukan[4].”

Ungkapan para tokoh Syi’ah Rafidhah tentang hukum dan keutamaan pesta duka di hari Asyuraa.

Berikut cuplikan ungkapan para tokoh Syi’ah Rafidhah tentang hukum dan keutamaan pesta duka di hari Asyuraa.

Salah seorang dari tokoh Syi’ah Rafidhah telah menulis buku khusus tentang ritual pada hari ‘Asyuraa di Karbala judulnya” Almajalis Al fakhirah fi Ma’aatim Al ‘itrah At Thahirah”[5] atau lebih pasnya kitab tersebut di beri judul Manaasik Al Husainiyah.

Disebutkan oleh salah seorang tokoh mereka bahwa ritual penyiksaan diri pada hari Asyura di Karbala awal pertamanya pada abad ke- IV Hijriah dimasa dinasti Al-Buwaihy. Kemudian berlanjut pada masa dinasti Al-Fathimiyah sampai sekarang kegiatan tersebut tersebar di negara yang mayoritas terdapat orang-orang Syi’ah Rafidhah. Seperti Iraq, Iran, India, Siria, dan lain lain[6].

Salah seorang tokoh mereka yang bernama Dr. Abdul Ali menukil dari salah seorang Syeikh mereka bernama Hasan Ad-Dimastaany ungkapan, “Meratap berteriak atas kematian Husain adalah wajib, wajib ‘ain (wajib atas setiap pribadi) [7].”

Berkata Ayatullah Al-‘Uzma Syeikh Muhammad Husein An-Naaiity, “Tidak ada masalah tentang hukum kebolehan memukul pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih kuat lagi, boleh memukul pundak dan punggung dengan rantai sampai batas yang disebutkan. Bahkan lebih kuat jika hal itu menyebabkan keluarnya darah. Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan pedang[8].”

Setelah kita menyimak berbagai ungkapan tokoh-tokoh Syi’ah Rafidhah diatas dapat kita ketahui bahwa apa yang dinisbahkan kepada mereka itu benar. Dan bukanlah sebuah isu yang dibuat-buat tentang mereka. Bahkan ada CD tentang pesta duka di Karbala yang dapat anda buktikan sendiri segala apa yang kita kutip diatas.

Bila ungkapan-ungkapan tersebut kita sorot dengan cahaya Alquran dan Sunnah serta keyakinan para ulama salaf. Niscaya kita akan mendapati jurang pemisah yang sangat jauh antara keyakinan orang-orang Syiah Rafidhah dengan keyakinan kaum muslimin yang berpegang teguh kepada Alquran dan Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama salaf.

Bukankah Hamzah paman nabi shallallahu ‘alahi wa sallam adalah seorang syahid yang mati terbunuh di medan perang?. Namun Nabi shallallahu‘alahi wa sallam tidak pernah menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka dan berkabung. Sebagaimana yang di lakukan orang-orang Syi’ahRafidhah pada hari kematian Al-Husein radhiallahu ‘anhu.

Bahkan hari kematian para nabi terutama nabi yang paling mulia Muhammad shallallahu‘alahi wa sallam tidak pernah di perintahkan Allah untuk di jadikan hari berkabung dan berduka, apalagi kematian orang-orang yang jauh kedudukannya dibawah para nabi.

Komentar para ulama tentang kesesatan pesta duka di hari ‘Asuraa.

Diterangkan oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, ”Bahwa dengan sebab terbunuhnya Husain, setan telah menciptakan dua bid’ah bagi manusia; bid’ah dalam bentuk kesedihan dan meratap pada hari ‘Asyuraa. Dengan memukuli wajah, teriakan, menangis, tidak minum, dan membaca syair-syair duka. Juga melakukan hal yang membawa kepada tindakan mencaci-maki dan melaknat para sahabat. Serta membaca cerita bagaimana kejadian terbunuhnya Husain yang telah dicampuri oleh berbagai kedustaan. Tujuannya adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan antara sesama umat Islam. Sesungguhnya hal tersebut tidak wajib dan tidak pula disunnahkan menurut kesepakatan kaum muslimin. Bahkan melakukan tindakan yang menyedihkan dan meratapi bagi musibah yang telah berlalu adalahtermasuk diantara hal yang diharamkan Allah dan rasul-Nya shallallahu‘alahi wa sallam.

Demikian pula bid’ahhukumnya dengan sengaja bergembira dan berbahagia pada hari Asyuraa, sebagaimana perbuatan orang-orang Nawashib[9].
Fatwa-fatwa yang membolehkan menyiksa diri pada hari Asyuraa telah mendapat pengakuan lebih dari sepuluh ulama terkemuka mereka[10].

Berkata Ibnu katsir, “Setiap muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain radhiallahu‘anhu, sesungguhnya dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah seorang ulama dikalangan para sahabat, dan anak dari anak perempuan kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah. Tetapi apa yang dilakukan Syi’ah tidak pantas, dari bersedih dan keluh kesah, boleh jadi mereka lakukan karena pura-pura dan riya’. Sesungguhnya ayahnya (Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu) jauh lebih afdhal darinya, ia juga terbunuh. Akan tetapi mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka sebagaimana hari kematian Husain radhiallahu ‘anhu! Sedangkan bapaknya terbunuh pada hari Jum’at saat keluar rumah mau melaksanakan shalat subuh, pada tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H.

Demikian juga ‘Utsman radhiallahu ‘anhu ia adalah lebih mulia dari Ali dalam pandangan Ahlussunnah wal jam’aah. Ia dibunuh saat dikepung di rumahnya, pada hari Tasyriiq di bulan Zulhijjah, tahun 36 H., ia disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah manusia menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.

Demikianpula halnya Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu dan ia lebih afdhal dari Ustman dan Ali, ia dibunuh di mihrab saat shalat fajar (Subuh), saat sedang membaca Alquran. Tidah ada manusia yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.

Dan demikian juga Abu Bakar Ash-Shidiq, ia adalah lebih afdhal dari Umar, tidak ada manusia yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung.

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, Allah telah memanggilnya, sebagaimana meninggalnya para nabi sebelumnya. Tidak ada seorangpun menjadikan hari kematian mereka sebagai hari belasungkawa, atau melakukan apa yang dilakukan orang-orang bodoh dari sekte Rafidhah pada hari kematian Husain. Tidak seorangpun menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang disebutkan Rafidhah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit, dan sebagainya[11].”

Berkata salah seorang ulama Dinasti Utsmaniyah Faadhil Ar-Ruumy, “Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muharram sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu pada hari tersebut seperti yang dilakukan orang-orang Rafidhah. Maka itu adalah perbuatan orang-orang sesat perjalanannya waktu di dunia tetapi mereka mengira melakukan sesuatu yang amat baik. Allah dan Rasul shallallahu‘alahi wa sallam tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi dan hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi hari kematian orang-orang yang di bawah mereka kedudukannya.

Tukang cerita yang mengingatkan manusia tentang kisah pembunuhan di hari Asyuraa, sambil merobek baju dan membuka tutup kepalanya. Menyuruh orang-orang untuk berdiri dan menyalakan rasa sedih dalam hati terhadap musibah tersebut. Maka diwajibkan atas penguasa untuk melarang mereka. Orang yang ikut-ikutan mendengarkannya tidak boleh diberi uzur untuk mendengarkan[12].”

Pada kesempatan lain beliau nyatakan, ”Diantara bentuk-bentuk bid’ah yang dilakukan sebahagian manusia pada hari Asyura adalahmenjadikan hari tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Disamping itu mereka mencaci para sahabat Rasululullah yang telah meninggal dan berdusta atas nama keluarga nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Serta berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang dalam Alquran dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam serta kesepakatan kaum muslimin.

Sesungguhnya Husain radhiallahu ‘anhu telah dimuliakan Allah dengan menjdikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni surga. Sekalipun terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan tetapi Allah mensyari’atkan bagi kaum muslimin ketika mendapat musibah mengucapkan istirjaa’ (Innalillahi wainna ilaihi rooji’uun) [13].

Sebagaimanafirman Allah,
“…Danberi kabar gembiralah orang-orang yang sabar. Yaitu mereka yang ketika ditimpa musibah mengucapkan Inna lillah wainna ilaihi rooji’uun. Mereka mendapat shalat (pujian) dan rahmat dari tuhan mereka, itulah mereka orang-orang yang diberipetunjuk[14].”

BerkataSa’iid bin Jubair radhiallahu ‘anhu, “Tidak diberikan ucapan istirjaa’  bagi umat-umat lain kecuali untuk umat ini (umat nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam). Jika sesorang diberi tentu akan diberikan kepada nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Tidakkah anda perhatikan ia mengucapkan sebagai ganti kalimat istirjaa’ : “wahai betapa sedihnya kehilanganYusuf [15].”

Disebutkan dalam kitab shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak seorang muslimpun yang ditimpa musibah, maka ia ucapkan: Inna lillah wa inna ilaihi rooji’uun, ya Allah beri pahala-lah terhadapku atas musibah yang menimpaku, gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya. Melainkan Allah memberinya pahala terhadapnya atas musibahnya dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari musibahnya[16].”

Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi pada saat bertepatan waktu musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, Maka dosanya akan lebih besar lagi. Seperti memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan berteriak-teriak sebagaimana kebiasaan orang-orang jahiliah. Apalagi ditambah dengan melaknat dan mencaci orang-orang mukmin (para sahabat). Serta membantu orang-orang zindiqdalam merealisasikan tujuan mereka dalam merusak agama.

Maka diwajibkan kepada setiap muslim untuk menjauhi tempat-tempat perbuatan haram dan maksiat tersebut. Serta melarang orang-orang yang melakukannya sesuai kemampuannya[17].
Mungkin ada yang akan mengomentari itukan pendapat sebagian dari orang-orang Rafidhah. Karena jika kita bertanya kepada sebagian yang lain mereka tidak setuju akan hal itu. Perlu diketahui bahwa diantara aqidah mereka adalah taqiyah (berdusta) di hadapan orang-orang tidak seaqidah dengan mereka.
Dalam pesta duka di padang karbala atau pada hari Asyuraa ada beberapa catatan penting:

Hukummenyiksa diri atas peristiwa musibah yang menimpa seseorang.

DariIbnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata, telah bersabdaRasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, “Tidak termasukgolongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju danberteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah .” (HR. Bukhari danMuslim).

Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Aku berlepas diri apa-apa yang Rasulullah berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek baju (saat ditimpa musibah).” (HR. Bukhari dan Muslim).

DariAbu Musa Al-Asy’ary radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu‘alahi wa sallam bersabda, “Ada empat perkara diantara perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga dengan kesukuan, mencela keturunan(orang lain), meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat. Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelium meninggal. Ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta.”

Adapun hal terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu tidak diragukan lagi bahwa ia terbunuh dalam kezaliman serta syahid. Sebagaimana terbunuhnya orang-orang yang dizalimi dalam keadaan syahid. Terbunuhnya Husain radhiallahu‘anhu adalah kedurhakaan kepada Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam dari orang yang membunuhnya, atau ikut membantu dan ridha dengan dengan hal itu. Dan ia merupakan musibah yang menimpa kaum muslimin baik dari keluarganya maupun bukan dari keluarganya. Dan itu baginya bernilai syahid dan ketinggian bagi kedudukannya. Karena dia dan saudaranya Hasan, bagi keduanya telah dijanjikan Allah termasuk orang-orang yang berbahagia yang hanya dicapai dengan salah satu bentuk cobaan. Karena keduanya tidak merasakan cobaan yang dialami oleh keluarga mereka sebelumnya. Karena keduanya dibesarkan dalam Islam, dalam masa kejayaan dan rasa tentram. Maka yang satu mati dengan diracun dan yang satu lagi mati dengan dibunuh, supaya keduanya mencapai kedudukan orang-orang yang bahagia, kehidupan para syuhada.

Kejadian yang menimpa Husain tidak lebih besar dari apa yang menimpa para Nabi. Sesungguhnya Allah telah menceritakan bahwa Bani Israil telah membunuh para nabi tanpa ada alasan. Sedangkan membunuh nabi adalah dosa dan musibah yang amat besar. Jika demikian maka terbunuhnya Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu jauh lebih besar dosa dan musibahnya. Demikian pula pembunuhan khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu adalah musibah dan dosa yang jauh besar.

Jika demikian halnya maka yang harus dilakukan saat di timpa musibah adalah bersabar dan-istirjaa’ sebagaimana yang dicintai Allah dan rasul-Nya shallallahu‘alahi wa sallam.
Adapun melakukan hal-hal yang dibenci Allah dan rasul-Nya shallallahu ‘alahiwa sallam seperti memukul-mukul muka, merobek-robek baju, dan bertriak-teriak seperti perbuatan orang-orang jahiliyah. Semua ini adalah haram yang mana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berlepas diri dari orang yang melakukannya. Sebagaimana yang terdapat pada hadits-hadits yang telah kita sebutkan di atas.

Hukum mencaci atau mencela para sahabat, baik pada hari Asyuraa maupun diluar hari  Asyuraa.

Banyak sekali ayat maupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam yang menerangkan keutaman sahabat, sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan mencari orang-orang beriman secara umum dan melaknat serta mencaci para sahabat secara khusus.

Secara khusus Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah melarang dengan tegas umatnya mencela para sahabat beliau,

DariAbu Sa’iid Al-Khudri  bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai (nilainya) segenggam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula separohnya[18].”

Maka berdasarkan hadits ini diwajibkan atas seorang mukmin memuliakan mereka dan menyebut mereka dengan kebaikan serta menahan lisan dari mencela mereka.
Karena dengan sebab terbunuhnya Utsman dan Husain terjadi fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang banyak. Akibatnya muncul berbagai bentuk kesesatan dan bid’ah-bid’ah. Terjerumus kedalamnya sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang. Sehingga berbagai kedustaan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah semakin hari semakin bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat yang tidak mungkin kita urai dalam bahsan singkat ini[19].

BerkataImam Al-Ghazali dan ulama lainnya, “Diharamkan bagi para pemberi nasihat (dai) meriwayatkan tentang kisah terbunuhnya Husain. Begitu pula tentang hal yang terjadi antara sesama para sahabat dari perselisihan dan pertikaian. Karena hal itu dapat memotivasi orang untuk membenci para sahabat dan mencela mereka.Sedang mereka adalah tauladan umat, yang para ulama mendapatkan ilmu melalui perantara mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka. Maka orang yang mencela mereka adalah orang yang tercela pada diri dan agamanya.”

Berkata Ibnu Sholaah dan Imam Nawawi, “Para sahabat seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat meninggal Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mempunyai sahabat jumlahnya seratus empat belas ribu (114. 000) orang. Alquran dan sunnah keduanya menyatakan akan keadilan (ketakwaan)  dan kemulian mereka. Dan segala apa yang terjadi di antara mereka memiliki pertimbangan-pertimbangan yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu dalam tulisan singkat ini[20].
Berkata Imam Asy-Syafi’i dan lainnya dari para ulama salaf, “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang Allah sucikan tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan lidah kita dari membicarakannya.”

Demikian bahasan kita kali ini, semoga Allah melindungi kita dari berbagai bentukkesesatan dan kebatilan, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.

Penulis:Ustadz  Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A. Artikel www.dzikra.com

[1] HR. Bukhary: 1/398 (1133) dan Muslim: 2/1013 (1395).
[2] HR. Bukhari: 1/398 (1132) dan Muslim:2/1014 (1397)
[3] HR. Ahmad: 2/367 (8790) dan Abu Daud:2/218 (2042).
[4] HR. Bukhary: 1/168 (425) dan Muslim:1/377 (531).
[5] Lihat kitab Man Qatalal Husein, hal: 60.
[6] Lihat kitab Man Qatalal Husein, hal: 56.
[7] Lihat kitab Man Qatalal Husein, hal: 65.
[8] Lihat kitab Man Qatalal Husein, hal: 66.
[9] Lihat Minhaajussunnah,4/554.
[10] Lihat kitab Man Qatalal Husein, hal: 68-69.
[11] Lihat Bidayah wannihayah,8/208.
[12] Lihat Majaalis Al Abraar, Majlis no 37.
[13] Lihat Majaalis Al AbraarMajlis, no 37.
[14] QS. Al-Baqaah, ayat: 155-157.
[15] Diriwayatkan Imam Ath-Thabary dalamtafsirnya, 13/39.
[16] Lihat shahih Muslim,2/632no (918).
[17] Lihat Majaalis Al AbraarMajlis, no 37.
[18] HR. Bukhari, 3/1343 (3470) dan Muslim: 4/1967 (2540-2541) dari hadits Abu Hurairah dan Abdurrahman bin ‘Auf.
[19] Lihat Majaalis Al AbraarMajlis, no 37.
[20] Lihat Ash shawa’iq AlMuhriqah, karangan Al-Haitami, 2/640.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar