Kamis, 04 Juni 2020

Malcom X: Figur Perlawanan Terhadap Rasisme

Jika saja peristiwa ini terjadi di negara yang kerap dituding terbelakang seperti Eropa timur atau Afrika, mungkin reaksi masyarakat global tidak akan seramai ini. Tetapi ini terjadi di Amerika Serikat. Negeri yang selalu mendapuk sebagai proyek percontohan demokrasi dan tempat bagi multi-etnis, yang selalu bersikeras mengekspor demokrasinya ke berbagai belahan dunia.

Tetapi faktanya dapat kita lihat secara telanjang. George Floyd, warga kulit hitam tewas menyedihkan setelah dianiaya oleh polisi kulit putih. Pria malang itu tercekik tak bisa bernafas diinjak oleh lutut polisi tersebut saat ditangkap. Video Floyd yang tengah memohon, merobek-robek rasa kemanusiaan siapapun, kecuali satu orang. Polisi yang menindih badannya.

Kematian Floyd memicu kerusuhan dan demontrasi besar-besaran di sejumlah wilayah AS. Mereka muak atas perilaku rasis yang kerap dipertontonkan aparat. Floyd bukan korban pertama dan kasus yang unik. Racial profiling ala kepolisian AS sudah lama dikecam. Eric Garner adalah korban yang mendahului Floyd. Kematiannya mendorong aksi demontrasi Black Lives Matter. Kasus kematian Garner yang juga mengiba dengan kata “I can’t breathe” nyatanya terjadi dibawah administrasi presiden kulit hitam pertama, Barrack Obama.

Hal ini membuktikan dua hal. Pertama, kasus rasialisme di AS bukan hal sepele. Ia mendarah daging sejak era perang kemerdekaan dalam semua lapisan masyarakat Amerika. Dari pejabat tinggi hingga level presiden, hingga petugas patroli di lapisan paling bawah. Tak ada yang menolak untuk berkata bahwa Donald Trump  presiden bermasalah. Tetapi masyarakat AS sebagiannya juga mengidap rasialisme akut.

Rasisme adalah potret kebobrokan sistem dalam negeri tersebut. Bukan saja tidak mampu menjamin hak hidup setara dan layak bagi warga kulit hitam, tetapi bahkan sistem politik demokrasi di AS mampu mengangkat seorang rasialis seperti Trump sebagai presiden.

Oleh sebab itu persoalan rasialisme di AS bukan sekedar hubungan antar warga, tetapi juga persoalan sistem yang akut. Kebobrokan di AS bukan saja berkutat seputar sistem peradilan saja. Tetapi berakar pada sistem ekonomi AS yang kapitalistik. Ikon pergerakan kulit hitam AS yang juga seorang tokoh muslim kelas dunia, Malcolm X menunjukkan hal ini.

Malcolm X menyebutkan bahwa hampir semua negara kolonialis berpaham ekonomi kapitalis. Dalam sebuah kesempatan di bulan Mei tahun 1964, Malcolm X menyebutkan bahwa,
“Hampir semua negara penjajah besar adalah negara kapitalis, dan benteng terakhir kapitalisme saat ini adalah Amerika. Mustahil bagi orang kulit putih untuk percaya pada kapitalisme dan tidak bersikap rasis. Anda tak mungkin memiliki kapitalisme tanpa rasialisme.” (George Breitman : 1990)

Malcolm X dan perlawanan orang kulit hitam

Malcolm X mengetahui betul penderitaan warga kulit hitam di AS. Ia hidup dari lembah kemiskinan dan berakhir di penjara, seperti banyak warga kulit hitam lainnya. (Alex Haley: 1992)  Pada masanya hidup, rasialisme di AS menjadi begitu nyata sehingga ada pemisahan rasial di ruang publik.

Di penjara, Malcolm X mengenal Islam lewat pergerakan kulit hitam, Nation of Islam. Ia menjadi figur sentral dalam Nation of Islam. (Alex Haley: 1992)  Organisasi itu menjadi jalur Malcolm X mengenal Islam, meski bukan seluruhnya memberi gambaran yang benar tentang Islam. Nation of Islam mengkultuskan pemimpinnya, Elijah Muhammad. Namun sosok Elijah Muhammad menjadi mentor bagi Malcolm X.

Segera setelah keluar dari penjara, Malcolm X menjadi aktivis kulit hitam di AS. Pidato dan pernyataannya begitu menghentak. Retorikanya memukau. Ia menjadi corong bagi warga kulit hitam dan menyerang secara frontal diskriminasi rasial di AS.

Dalam pidatonya pada 10 November di Detroit, AS, Malcolm X menariknya menyebut betapa berpengaruhnya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konferensi itu menurut Malcolm adalah simbol persatuan kulit berwarna melawan hegemoni kulit putih.

“Di Bandung, kurasa tahun 1954 (Malcolm X keliru dalam mengingat tahunnya-pen), adalah pertemuan persatuan pertama selama berabad-abad dari orang kulit hitam. Dan ketika kamu mempelajari apa yang terjadi di konferensi Bandung, sesungguhnya (konferensi ) itu menjadi model untuk prosedur yang sama bagi kamu dan saya yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah kita. Di Bandung, semua negara berkumpul bersama, negara (berkulit) gelap dari Afrika dan Asia. Beberapa dari mereka orang Budha, beberapa Konfusianis, beberapa ateis. Terlepas dari perbedaan agama mereka, mereka berkumpul bersama.” (George Breitman : 1990)

Malcolm kemudian melanjutkan bahwa yang paling penting di KAA Bandung tidak boleh ada orang kulit putih. Malcolm menunjuk bahwa kulit putih memiliki teknologi senjata nuklir, tetapi para peserta KAA punya persatuan. Tentu saja Malcolm keliru. KAA tidak dimaksudkan sebagai pertemuan anti orang kulit putih. Serangan Malcolm pada kulit putih adalah bagian dari pemahamannya kala itu. Bahwa cara menentang diskriminasi rasial terhadap orang kulit hitam adalah dengan melawan kulit putih. Sebab hal ini menjadi bagian dari ‘ajaran Islam’ (yang keliru) dari Nation of Islam.

Terlepas dari kekeliruannya, Malcolm menunjukkan hipokritnya masayarakat AS saat itu. Perlawanan kulit hitam selalu disalahkan apabila terjadi lewat kekerasan. Padahal itu juga dilakukan orang kulit putih. Orang kulit putih menyuruh orang kulit hitam untuk berperang, di Jerman, Jepang, Korea.

“Kamu berdarah untuk orang kulit putih, tetapi jika kamu melihat gerejamu sendiri dibom, dan gadis kecil kulit hitam terbunuh, kamu tidak berdarah. Kamu berdarah ketika orang kulit putih menyuruhmu berdarah; kamu menggigit ketika mereka menyuruhmu menggigit; kamu menggonggong ketika orang kulit putih menyuruhmu menggonggong. Saya benci mengatakan ini tentang kita, tetapi ini kenyataan. Bagaimana kamu bisa tidak melakukan kekerasan di Missisippi, padahal kamu melakukan kekerasan di Korea?”

“Bagaimana kamu membenarkan tidak melakukan kekerasan di Missisippi dan Alabama, ketika gerejamu di bom, dan gadis kecilmu dibunuh, dan saat yang sama kamu pergi (berperang) dengan kekerasan melawan Hitler, dan Tojo, dan orang lain yang kamu tak kenal?” (George Breitman : 1990)

Bagaimana pun, Malcolm X membangkitkan kesadaran warga kulit hitam di AS. Islam dijadikan sebagai jalan untuk melakukan perlawanan dan penindasan terhadap rasialisme. Al-Qur’an menurutnya tidak mengajarkan orang untuk menjadi pasif.

“Tidak ada dalam kitab suci kita, Qur’an, yang mengajarkan kita untuk menderita secara damai. Agama kita mengajarkan kita untuk menjadi cerdas. Menjadi damai, menjadi sopan, patuhi hukum dan hormati orang lain; tapi jika seseorang menyakitimu, kirim dia ke pemakaman.” (George Breitman : 1990)

Titik Balik Malcolm X

Cara pandang Maclom X terhadap rasialisme berubah selepas ia melakukan ibadah haji di Mekkah. Malcolm yang juga berpisah dari Elijah Muhammad mengemukakan betapa kagumnya ia akan Islam yang sebenarnya yang tergambar dari ibadah haji. Dalam suratnya dari Jeddah, Arab Saudi, pada  20 April 1964, ia menumpahkan kekagumannya:
“Ada puluhan ribu jemaah haji dari seluruh dunia. Mereka semua berkulit berwarna, dari mata-biru berambut pirang hingga orang Afrika berkulit hitam, tetapi semua berpartisipasi dalam ritual yang sama, menampilkan semangat persatuan dan persaudaraan yang bertentangan dengan pengalamanku selama di Amerika membuatku percaya tak mungkin kulit putih dan bukan-putih bisa bersama.

Masih dari surat yang sama, Malcolm X mengungkapkan konsepsi Islam memerangi rasialisme. Menurutnya, “Islam yang sejati memerangi rasisme, karena semua warna kulit dan ras menerima prinsip relijius (Islam) dan hanya tunduk pada satu Tuhan, Allah, sehingga secara otomatis menerima satu sama lain sebagai saudara laki-laki dan perempuan, tanpa melihat perbedaan corak.” (George Breitman : 1990)

Sepulangnya dari ibadah haji, di Chicago, ia berpidato mengemukakan penyesalannya:

“Di masa lalu, Aku telah mengizinkan diriku untuk terbiasa mendakwa semua kulit putih, dan generalisasi ini telah membuat sebagian orang kulit putih terluka, padahal mereka tidak layak menerimanya. Karena Aku diberkahi kelahiran kembali secara spiritual yang kudapatkan dari ibadah hajiku di Kota Suci Mekkah, aku tidak lagi memukul rata mendakwa ras apapun.” (George Breitman : 1990)

Malcolm X atau El Hajj Malik al-Shabazz, begitu namanya setelah berhaji, telah mendapatkan hidayah cahaya Islam dalam memandang persoalan rasialisme. Ia tak lagi merendahkan ras manapun demi melakukan perlawanan terhadap diskriminasi rasial warga kulit hitam.

Dalam suratnya dari Lagos, Nigeria, pada 10 Mei 1964, Malcolm X menulis; “Qur’an memerintahkan Muslim di seluruh dunia untuk berpihak pada hak manusia yang sedang dilanggar, apapun agama korbannya. Islam adalah agama yang mempedulikan hak azasi manusia dari segala jenis manusia, terlepas dari ras, warna, atau kredo. Islam memperhatikan semua sebagai bagian dari sebuah keluarga manusia.” (George Breitman : 1990)

Hari-hari berikutnya, Malcolm X menyerang sistem kapitalis sebagai sistem yang menyebabkan rasialisme. “Anda tak mungkin memiliki kapitalisme tanpa rasialisme,” demikian jelas Malcolm X pada wawancara di bulan Mei 1964.

Di kesempatan yang sama ia juga menyebutkan bahwa, “Anda tak bisa menjalankan sistem kapitalistik kecuali Anda pemangsa, dan anda harus menghisap darah orang lain untuk menjadi kapitalis. Tunjukkan padaku kapitalis, akan Aku tunjukkan penghisap darah.” (George Breitman : 1990)

Hingga wafatnya Malcolm X dalam tragedi penembakan dirinya di tahun 1965, ia memang tak menjelaskan secara rinci dan sistematis bagaimana sistem kapitalistik itu menghasilkan rasialisme. Namun jika hal ini terjawab ketika kita menelaah penjelasan Michael C. Dawson dan Megan Ming dalam Black Politics and the Neoliberal Racial Order (2015).

Neoliberalisme melahirkan rasialisme

Pembingkaian warga kult hitam sebagai kaum miskin, tidak terdidik, dan erat dengan perilaku kriminal bukan tanpa sebab. Konstitusi AS memang menjamin hak dan perlakuan yang sama pada setiap warganya. Oleh sebab itu tak mengherankan jika sebagian figur publik kulit hitam seperti Barrack Obama atau rapper Jay-Z melihat kemiskinan yang melanda warga kulit hitam sebagai kegagalan individu dan budaya yang buruk. (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Negara dengan sistem ekonomi neoliberalnya tidak mereka lihat sebagai satu sistem yang berdampak pada rasialisme di AS. Ideologi neoliberal yang menekankan ‘kebaikan’ pasar bebas dan konsumerisme, mengalihkan perhatian kita dari malapetaka yang disebabkan oleh keterkaitan antara paham supremasi kulit putih dan struktur ekonomi kapitalis. (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Neoliberalisme telah memfasilitasi lahirnya dua elemen andalannya: kebijakan pemberantasan kriminalitas berdasarkan ras dan eksploitasi ekonomi. Sistem peradilan kriminal di AS secara signifikan telah membentuk berkembangnya tata rasial di Amerika. Di masa lalu, elit kulit putih memiliki otortias untuk membentuk hukum kriminal.

Hukum ‘Kejahatan negro’ seperti hukum jam malam, kontak kerja yang tak adil hingga mangkir dari pekerjaan telah menempatkan orang kulit hitam dalam kendali negara. Penjara segera dipenuhi orang kulit hitam. Seringkali mereka ditangkap berbulan-bulan tanpa proses peradilan atau mendapatkan bantuan hukum. (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Populasi penjara yang membengkak membuat para tahanan menjadi pemasukan bagi pemerintah di negara bagian Selatan AS. Para tahanan ini disewakan kepada perusahaan swasta dan terlibat dalam pekerjaan seperti pembangunan jalur rel hingga pertambangan dan perkebunan.  (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Di masa kini, di bawah slogan ‘hukum dan ketertiban’, kriminalisasi warna kulit hitam menjadi hal yang rutin. Orang kulit hitam lebih sering dihentikan aparat kepolisian di jalan. Menurut statsitik tahun 2011, di New York, kota yang penduduknya relative beragam, mengungkapkan bahwa 87% individu yang dihentikan dan ditanyai polisi adalah orang kulit hitam atau orang latin. (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Studi Pew Center on the States tahun 2008 menunjukkan satu dari 15 pria kulit hitam dan 1 dari 30 orang latin di penjara. Statistik lainnya menunjukkan 1 dari 3 pria kulit hitam merasa mereka dapat dipenjara. Pemenjaraan massal ini tentu ada kaitannya. Penjara menjadi lahan basah bisnis. Kunci kebijakan dari sistem neoliberal adalah membuat penjara lebih berorientasi pada pasar (market-based). (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Penjara menjadi rekanan perusahaan Fortune 500 seperti IBM, AT&T dan Bank of America untuk mempekerjakan para tahanan. Mereka menjadi buruh yang dibayar semurah mungkin. Di dalam penjara sendiri, semua hal dapat dieksploitasi menjadi keuntungan. Penyediaan makan, matras, selimut hingga layanan telepon dilepas pada penawar tertinggi. (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Bahkan di AS, penjara pun diserahkan pada pihak swasta. Penjara swasta ini diperdagangkan sahamnya di Wall Street. Corrections Corporation of America (CCA), sekarang menjadi Corecivic, adalah penjara dengan nilai lebih dari 2 milliar dollar AS. (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Laporan tahunan CCA tahun 2010 memberi jaminan pada pemegang saham mereka bahwa, “Kami percaya kami telah sukses dalam meningkatkan jumlah penhuni dalam pelayanan kami dan terus mengejar jumlah yang dituju untuk meningkatkan hunian dan pemasukan.” (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Ideologi neoliberal menurut Michael C. Dawson, professor ilmu politik dari University of Chicago, telah menyediakan aturan yang (sekilas tampak) ‘raceless’, dikombinasikan dengan tingkat pengangguran yang massif dan penahanan terhadap warga miskin kulit hitam. (Michael C. Dawson & Megan Ming: 2015)

Rasialisme, kini, 55 tahun setelah wafatnya Malcolm X, hidup dalam jubah yang relatif aman. Terjaga dalam sistem yang disokong ideologi kapitalistik. Sehingga amat sulit menyingkirkan rasialisme di AS jika hanya berharap pada kesadaran individu, tanpa menyadari bahwa eksploitasi demi keuntungan finansial sebenarnya sedang berlansung mulus.

Penulis: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblat.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar