Sabtu, 20 Juni 2020

Uniknya Generasi Shalih Terdahulu

Pada suatu hari, sempat terjadi sebuah cekcok antara sahabat Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin Auf. Tanpa sadar Khalid ra kelepasan berkata sedikit kasar kepada Abdurrahman bin Auf ra. Kejadian ini pun terdengar oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.

Maka beliau pun bersabda:

“Janganlah kamu sekalian memaki salah seorang sahabatku. Karena sesungguhnya sekiranya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka amalnya itu belum mencapai satu mud seseorang di antara mereka atau setengahnya.”[1]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah mengungkapkan bahwa kalimat larangan dalam hadits di atas menunjukkan keharaman.[2]
Percekcokan dua sahabat tersebut pada akhirnya melahirkan sebuah hukum yang berlaku hingga hari ini yaitu larangan mencela para sahabat. Lebih lanjut, Syaikh Utsaimin merincikan bahwa mencela sahabat secara umum dapat berujung kekafiran. Namun jika dalam bentuk khusus, perlu diperinci lagi, hal apa yang sedang dicela, apakah fisik, perilaku, atau pemahaman beragama sahabat yang bersangkutan. Dan masing-masing mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.[3]

Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam tentu tidak bermaksud pilih kasih. Namun memang kenyataan berkata bahwa Abdurrahman bin Auf lebih awal keislamannya[4], dan itu berarti lebih awal penerimaannya terhadap wahyu, dan hal itu juga berarti beliau lebih awal hidup dan berjuang bersama Muhammad  shallallaahu 'alaihi wasallam.

Kendati Khalid bin Walid ra sendiri bukanlah seseorang dengan kualitas sembarangan. Khalid ra yang pernah menghancurkan pasukan muslimin dalam perang uhud[5], setelah memeluk Islam menjelma menjadi prajurit paling kuat dan paling jenius dalam barisan kaum muslimin, hingga dia digelari sebagai “pedang Allah”[6].

Khalid ra juga termasuk dalam deretan sahabat yang mulai berinfaq dan berperang sebelum peristiwa Fathu Makkah.

Allah Ta'ala berfirman:

“Tidak sama di antara kamu orang-orang yang berinfaq dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang berinfaq dan berperang sesudah itu.” (Al Hadid: 10)

Nyatanya hal itu tidak menghalangi Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam untuk “memarahi” Khalid bin Walid ra.

Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam ingin menegaskan bahwa para sahabat adalah manusia-manusia terbaik yang tidak pantas dicela dan dihina bahkan oleh seorang sahabat sekalipun.

“Manusia yang paling baik adalah (manusia pada) kurun waktuku (para sahabat), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’un) kemudian orang setelah mereka (tabi’ut tabi’in).[7]”

Para sahabat sebagai sekumpulan orang yang bertemu Nabi Muhammad  shallallaahu 'alaihi wasallam, memeluk Islam dan mati dalam keadaan Islam telah mendapatkan pujian dari Allah, Rabbul ‘Alamin.

Dalam surat Al Fath disebutkan:

“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi lemah lembut terhadap sesama mereka.” (Al Fath: 29)

Begitu juga dalam surat At Taubah:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin, dan kaum Anshar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit.” (At Taubah: 117)

Imam As Syaukani dalam kitab tafsirnya Fathul Qadir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan“masa-masa sulit” adalah masa-masa pada perang Tabuk[8].

Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri dalam Ar Rahiq Al Makhtum menggambarkan bahwa dalam ekspedisi tabuk, Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam berangkat bersama 30.000 pasukan. Belum pernah sebelumnya kaum muslimin berperang dengan pasukan sebanyak itu[9].

Kuantitas pasukan yang luar biasa justru memberi dampak yang kurang baik. Pasukan kaum muslimin tidak dapat bersiap secara maksimal baik dari segi perbekalan harta maupun makanan. Bahkan mereka juga kekurangan dalam hal tunggangan. Di mana hanya tersedia seekor unta untuk setiap delapan belas orang[10].

Sebagian dari mereka bahkan terpaksa memakan dedaunan hingga mulut mereka membengkak.  Dan untuk membasahi kerongkongannya, mereka terpaksa menyembelih unta untuk mengambil air yang tersimpan di dalam perutnya. Karena itulah pasukan ini dikenal dengan sebutan “Jaisyul ‘Usrah” atau pasukan yang kesulitan[11].

Wajar kiranya jika orang-orang yang istiqomah dan setia membersamai Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam dalam kondisi sesulit itu diterima taubatnya oleh Allah Ta'ala.

Generasi Inti

Kesetiaan para sahabat dalam ekspedisi Tabuk hanyalah satu dari sekian potret kesetiaan mereka terhadap dakwah kenabian. Mereka merupakan generasi terbaik dari umat Islam yang kelak akan menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.

Mereka adalah orang-orang yang mengubah firman-firman Allah SWT menjadi amal nyata. Sampai-sampai kita tidak akan mampu membedakan kehidupan mereka dengan ayat Al-Quran. Dalam menjalani kesehariannya, mereka bagaikan ayat-ayat Allah yang berjalan di muka bumi ini.

Ada sebuah pertanyaan, seorang Muhammad bin Abdullah datang membawa ajaran tauhid. Lalu apa yang diajarkannya tersebut tetap abadi hingga detik ini, bahkan para ulama dari masa ke masa selalu menuliskan penjelasan-penjelasan agar ajaran tersebut lebih cepat dipahami. Lantas mengapa pada hari ini kita tidak bisa menemukan potret muslim yang seperti para sahabat tadi.

DR. Abdullah Azzam dalam Tarbiyah Jihadiyah mengungkapkan bahwa seruan tauhid dan pemantapannya ke dalam kalbu bukanlah hal yang sifatnya teoritis, yang diajarkan melalui buku-buku bacaan[12].

“Akan tetapi amaliyah dari tauhid uluhiyah ini diajarkan melalui berbagai peristiwa dan langkah, melalui berbagai ujian dan cobaan dalam realitas kehidupan sehari-hari.[13]”

DR. Abdullah Azzam menyebutkan contoh bagaimana jalan seorang Abu Bakar ra untuk meyakini bahwa Allah Maha Penyantun (Al Halim). Ketika melihat beberapa kafir Quraisy mencengkeram kerah baju Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam namun dia tidak melihat Allah Ta'ala langsung mengambil tindakan terhadap mereka. Maka menengadahlah ia ke langit seraya berkata: “Ya Tuhanku, alangkah penyantunnya Engkau. Ya Tuhanku, alangkah penyantunnya Engkau.[14]”

Tertanamnya tauhid ke dalam kalbu juga bukan hal yang bisa dihitung dengan hitung-hitungan akademis, tidak bisa diukur dengan jumlah SKS ataupun jumlah pertemuan dalam satu semester kuliah.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan Al-Quran itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al Isra: 106)

Penurunan secara berangsur-angsur serta perintah menyampaikannya secara perlahan-lahan tentu ada maksudnya. Sayyid Quthb dalam Maalim fi Ath-Thariq mengungkapkan bahwa Al-Quran tidak diturunkan dalam satu waktu karena ia diturunkan menurut kadar kebutuhan saat itu, sesuai dengan perkembangan pemikiran dan penalaran yang sedang berlangsung; seiring dengan dinamika masyarakat dan kehidupan secara umum; dan untuk menjawab problematika sosial yang sedang dihadapi komunitas umat Islam dalam kehidupan yang dijalaninya[15].

Ayat-ayat Al-Quran yang suci seolah berdialektika dengan para sahabat tentang apa yang terbersit dalam benak mereka, menjelaskan kepada duduk perkara masalah yang mereka hadapi, mengoreksi kekeliruan langkah mereka, mempertautkan segala yang mereka hadapi kepada Allah SWT.

Pola seperti itu pada akhirnya memberikan para sahabat sebuah kesadaran bahwa mereka senantiasa hidup di bawah pengawasan Allah dan berada dalam kekuasaan-Nya.

Sebuah Komitmen Baru

Di samping manhaj atau metode pembelajaran yang berorientasi pada implementasi dan praktik. Sayyid Quthb menambahkan satu faktor lagi yang membuat generasi sahabat menjadi tak terkejar oleh generasi selanjutnya.

Para sahabat, ungkap Sayyid Quthb, ketika masuk Islam, ia merasa sedang memulai sebuah komitmen baru yang benar-benar terbebas dari kehidupan yang dilakoninya pada masa jahiliyah. Dari sini, ia akan meragukan kebenaran segala ritual yang ditunaikannya semasa jahiliyah seperti keadaan orang yang sedang ragu, bimbang, cemas, dan takut, seraya menganggap semua itu adalah perbuatan keji yang tidak baik dalam pandangan Islam[16].

Komitmen baru ini mengantarkan para sahabat pada sebuah pemisahan kesadaran secara penuh antara masa silam kejahiliyahannya dengan keislamannya di masa kini. Dan bermula dari pemisahan kesadaran inilah berkembang pemisahan sepenuhnya dari berbagai hubungan dan keterikatan sosial jahiliyah atau yang sering kita kenal sebagai al bara alias anti loyalitas.

Maka dimulai sejak saat itu, para sahabat tak lagi mempunyai hubungan dan ikatan apapun dengan para pelaku kejahiliyahan kecuali di bidang perniagaan dan kerja sama sehari-hari untuk perkara yang dalam Islam dibolehkan.

Kesimpulan

Manhaj pembelajaran yang berorientasi pada implementasi/praktik serta pembangunan pemisahan kesadaran secara penuh antara kejahiliyahan dan keislaman telah menjadikan para sahabat menjadi generasi yang unik yang seolah tak lagi mampu digapai oleh generasi penerusnya baik dalam hal kedewasaan spiritual maupun pencapaian yang bersifat fisik.

Dan melihat dua faktor yang terlihat mudah ketika dituliskan namun begitu sulit ketika dijalankan, rasanya memang sangat adil jika Rasulullah  shallallaahu 'alaihi wasallam begitu memuliakan mereka. Dan rasanya sudah sangat tepat jika kita menjadikan mereka sebagai teladan dalam kebaikan.

Penulis: Azzam Diponegoro untuk kiblat.net

Referensi:

[1] HR. Bukhori no. 3673 dan Muslim no. 2541 dan redaksi ini milik Muslim.
[2] Muhammad Shalih Al-Utsaimin. Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah Jilid II, Riyadh: Dar Ibnul Jauzi, 2000, h. 253.
[3] Ibid, h. 253.
[4] Ibid, h. 252.
[5] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar Rahiq Al Makhtum, Kairo: Darul Wafa, 2010, h. 237.
[6] Ibid, h. 337.
[7] HR. Bukhori no. 3651.
[8] As Syaukani, Fathul Qadir jilid II, Kairo: Lajnah Tahqiq Darul Wafa, h. 583.
[9] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar Rahiq Al Makhtum, Kairo: Darul Wafa, 2010, h. 381.
[10] Ibid, h. 381.
[11] Ibid, h. 381.
[12]Abdullah Azzam, Tarbiyah Jihadiyah jilid III, Solo: Pustaka Al Alaq, 2003, h. 167.
[13] Ibid, h. 167.
[14] Ibid, h. 167
[15] Sayyid Quthb, Ma’alim fi Ath-Thariq, Yogyakarta: Darul Uswah, 2009, h. 40.
[16] Ibid, h. 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar